(Renungan) Yesus Ampunilah Aku, Membuat Engkau Menangis!

Yesus Ampunilah Aku, Membuat Engkau Menangis!
(Lindawati W.)



Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya
(Luk. 19 : 41)



Kalender Liturgi, Kamis 17 November 2022
PW St. Elisabet dari Hungaria.
Bacaan Pertama : Why. 5 : 1-10
Mazmur Tanggapan : Mzm.149 : 1-2, 3-4, 5-6a, 9b
Bacaan Injil : Luk. 19 : 41-44


Ketika berada di Yerusalem, saya berjalan dengan hati-hati menyusuri jalanan menurun dari Gereja Pater Noster menuju Gereja Dominus Flevit (Tuhan Menangis). Di dalam gereja, tampak jendela berbentuk setengah lingkaran dan terlihat keindahan kota Yerusalem di kejauhan dengan lembah Kidron di bagian bawahnya. Di lokasi gereja inilah, orang percaya, Yesus menangisi kota Yerusalem.

Pada bagian depan meja altar terdapat lukisan mozaik seekor induk ayam mengepakkan sayapnya untuk melindungi anak-anaknya. Lukisan tersebut mengingatkan rintihan dan ratapan kesedihan Yesus: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau. Sesungguhnya rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi!” (Luk. 13:34-35a).

Kata-kata Yesus tersebut menubuatkan akan ancaman bahaya besar bagi Yerusalem. Ia mendorong mereka untuk bertobat dan datang kepada-Nya untuk diselamatkan. Namun kedegilan hati telah membuat mereka menolak pewartaan Yesus. Yerusalem kota damai tapi tidak ada kedamaian karena hidup mereka dipenuhi kejahatan. 

Padahal hidup itu karunia Allah, pemberian Tuhan. Keterbatasan fisik manusia menyadarkan iman kita kepada pengharapan dan kerinduan untuk menemukan hidup sejati. Suatu kehidupan yang tak terpengaruh lagi oleh keterbatasan dunia dan kulit daging ini. Hidup setiap makhluk berasal dari Allah, bersama Allah, dan menuju Allah. Karena kasih-Nya kita dilibatkan ambil bagian dalam kehidupan Ilahi untuk mengalami kebahagiaan dan kemuliaan-Nya. Saat itulah kita menyadari arti martabat luhur manusia. Hidup bersama Allah menjadi dasar iman Gereja dan sebagai makna paling luhur dari martabat manusia dalam menanggapi tawaran Allah (GS 19).

Gagasan di atas menyiimpulkan bahwa tujuan hidup manusia bukan hanya dimensi sosial tapi juga dimensi teologal. Makna teologal, sebagai makhluk ciptaan-Nya, manusia mengandalkan ketergantungan hidup secara absolut kepada Sang Pencipta. 

Sejauh mana kita mampu membawa damai bagi sesama? Bagaimana seandainya Yesus menilai kehidupan kita saat ini? “Yesus, ampunilah aku, membuat Engkau menangis!”.


Doa:

Allah Bapa sumber kehidupan, Engkau melimpahkan keselamatan agar kami mampu menciptakan relasi dan kedamaian. Perkenankanlah kami menyambut karunia-Mu dengan penuh sukacita. Engkaulah sumber hidup kami dan dengan pengantaraan Putera-Mu, Yesus Kristus dan dalam persatuan dengan Roh Kudus kini dan sepanjang masa. Amin.

enungan Harian, Rabu 23 November 2016 | Radio Suara Wajar 96.8 FM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Renungan) Api Penyucian

(Renungan) Si Sulung yang Hilang