(Renungan) Menyadari Kehendak Tuhan

Menyadari Kehendak Tuhan 
(Dewi Mulyati S.)


Dan ketika Yesus mengetahui apa yang mereka perbincangkan, Ia berkata, “Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Belum jugakah kamu faham dan mengerti? 
Telah degilkah hatimu?” 
(Mrk. 8:17)


Kalender Liturgi Selasa, 13 Februari 2024
Bacaan Pertama : Yak. 1:12-18
Mazmur antar bacaan : Mzm. 94:12-15. 18-19
Bacaan Injil : Mrk. 8:14-21


Para murid gagal faham akan sabda Yesus soal ragi orang Farisi dan Herodes. Mereka berpikir bahwa itu karena mereka hanya membawa satu roti. Padahal Yesus, Sang Guru Agung menggunakan analogi ‘ragi’, yaitu supaya para murid waspada terhadap ‘ragi Farisi’ dan ‘ragi Herodes’. Maksudnya agar iman para murid kepada Allah tidak hanya menguat karena tanda-tanda dari surga, seperti harapan orang Farisi, atau dari melihat mukjizat, seperti kemauan Herodes. 

Alih-alih menangkap peringatan-Nya, sabda Yesus yang menggunakan kata ‘ragi’ ditangkap para murid sebagai teguran karena satu roti. Akhirnya Yesus benar-benar mengkritik iman para murid, terutama karena para murid sudah melihat sendiri mukjizat penggandaan roti sebanyak dua kali. Bukankah Yesus selalu mencukupi makanan dan menjaga mereka semua?

Saya mengalami persepsi sempit dan iman yang melemah, ketika anak bungsu saya memutuskan menikah dengan gadis Singapura keturunan India. Meskipun pernah ditempatkan di negara Singapura maupun India oleh kantor, tetap saja saya merasa risau dan gamang. Saya beranggapan perbedaan budaya yang tajam akan menjadi hambatan untuk bisa saling memahami, sehingga interaksi akan kurang hangat antara saya dan menantu, saya dan besan. Suatu saat saya dibuat terharu dan sadar ketika menantu saya belajar bahasa Indonesia supaya bisa ngobrol dengan saya. Saya seperti mendapat teguran dari Tuhan akan sempitnya persepsi saya itu.

Bukankah selalu ada nilai-nilai cinta dan humanisme yang universal apa pun bangsanya? Mengapa saya sepertinya meragukan penyertaan Tuhan dalam kehidupan saya ke depannya? Bukankah ketika bekerja di negeri asing, mendapatkan boss atau kolega dari lain bangsa, meskipun banyak tantangan, toh saya baik-baik saja? Bukankah itu juga jalan Tuhan yang menjaga supaya saya tidak terlalu terkena gegar budaya dengan persatuan keluarga dari dua bangsa, dua budaya dalam perkawinan si bungsu saya?

Sebagaimana Yesus menegur para murid, maukah kita percaya dan menyerahkan hidup kepada Tuhan sepenuhnya? Apakah kita sadar, berapa banyak mukjizat yang telah Tuhan nyatakan dalam hidup kita? Masihkah kita sering ragu?


Doa : 

Allah yang Mahabaik, ampunilah kami yang sering terperosok dalam daya pikat rasa egois, dibelenggu rasa khawatir tak berarti . Terangilah hati kami supaya hanya dengan iman kepada-Mu, kami akan selalu diyakinkan atas penyelengaraan-Mu yang luar biasa dalam hidup ini. Amin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Renungan) Api Penyucian

(Renungan) Si Sulung yang Hilang