(Renungan) Menghitung Embun

Menghitung Embun
(Isye Iriani)


“Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu." 
(Mat. 20:14)


Kalender Liturgi Rabu, 21 Agustus 2024
Bacaan Pertama : Yeh. 34:1-11
Mazmur Tanggapan : Mzm. 23:1-3a. 3b-4. 5. 6
Bacaan Injil : Mat. 20:1-16a


Tuhan memanggil umat-Nya pada berbagai waktu dalam hidup masing-masing. Mereka yang dipanggil sejak awal maupun kemudian, menerima rahmat, kasih karunia dan upah yang sama. Tuhan tidak pernah membedakan umat-Nya. Rahmat-Nya sama untuk semua orang, tidak memandang kedudukan, pangkat, atau pekerjaan.
 
Romo L.A. Sardi, SJ menggambarkan, merasakan rahmat Tuhan itu seperti "menghitung embun." Embun ada setiap pagi, memberikan kesegaran, tetapi sulit untuk dihitung atau dipegang. Analogi ini menggambarkan rahmat Tuhan adalah sesuatu yang selalu ada, melimpah, dan memberikan kehidupan, meskipun tidak selalu mudah untuk dilihat, diukur atau dirasakan.

Memahami rahmat Tuhan seringkali merupakan tantangan, terutama ketika menghadapi berbagai cobaan hidup. Sampai saya membaca sebuah cerita (tanpa nama penulis), yang membuat Injil hari ini menjadi “terang” - Tuhan tidak pernah membedakan umat-Nya.
 
Namanya mbah Pon, penjual gudeg di Pasar Beringharjo, Yogjakarta. Mempunyai 5 anak yang kuliah di UGM, ITB dan UI. Mereka sekolah tanpa beasiswa. 
Siang itu mbah Pon duduk dikerumuni peserta seminar yang ingin belajar arti kesuksesan. Ketika ada pertanyaan, bagaimana kiat mendidik anak, jawabannya singkat : “Ya, kalau nakal dinasehati”. Pertanyaan tentang biaya kuliah, juga dijawabnya singkat : ”Pas waktunya bayar ya dibayar”. Saat peserta bingung harus bertanya apa lagi, seorang mahasiswa bertanya : “Mbah Pon, apa tidak pernah punya masalah ?” Mbah Pon pun balik bertanya: “Masalah itu apa to?” Mahasiswa itu mencontohkan: “Itu lho mbah, misalkan pas waktunya bayar, nggak ada uangnya.” Mbah Pon kemudian menjawab: “Oh itu toh, gampang saja, kalo pas ndak ada uang, saya minta ke Gusti Yesus, ternyata besoknya ada yang mborong semua gudeg saya”. Jawaban mbah Pon ini menampar semua peserta seminar, juga saya yang membaca ceritanya.

Mari belajar “menghitung embun” kita yang selalu baru setiap pagi , memiliki iman yang teguh seperti Mbah Pon, menjadikan Gusti Yesus  sandaran dan andalan hidup.


Doa:

Tuhan, mampukan aku “menghitung embun” dari-Mu yang selalu baru setiap pagi. Bantu aku punya disposisi hati yang  mau menyatukan kerinduanku dan kerinduan-MU, agar aku selalu dimampukan  mengenali  rahmat-Mu dan merasakan kebaikan hati-Mu, saat jejak kaki-Mu tidak kulihat dan uluran tangan-Mu tidak mampu aku rasakan, biar aku terus bisa percaya Engkau sungguh murah hati. Amin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Renungan) Api Penyucian

(Renungan) Si Sulung yang Hilang