(Renungan) Lembu Tambun
Lembu Tambun
(Ari Susanto)
Kalender Liturgi Minggu, 30 Maret 2025
Bacaan Pertama : Yos. 5:9a. 10-12
Mazmur Tanggapan : Mzm. 34:2-3. 4-5. 6-7
Bacaan Kedua : 2Kor. 5:17-21
Bacaan Injil : Luk.15:1-3. 11-32
Ketika masih jauh dari rumah, bapanya telah melihat dan berlari menyambut sebelum anak bungsu itu berkata sepatah kata pun. Martabatnya sebagai anak dipulihkan dengan dikenakan cincin dan jubah serta sepatu pada anak bungsu. Untuk melengkapi sukacitanya, bapa menyuruh mengadakan pesta dengan menyembelih anak lembu tambun, sebagai lambang kembalinya relasi anak dan bapa yang telah terputus (bdk. Im.4:3). Demikian kasih sayang seorang Bapa tiada berkesudahan, meskipun anak bungsu telah pergi dan menghabiskan harta warisan.
Anak bungsu meminta warisan selagi bapanya masih hidup. Dengan harta warisan, anak pergi ke negeri yang jauh dan hidup berfoya-foya. Tak lama kemudian harta habis dan hidup melarat. Ia bekerja di kandang babi. Untuk menghilangkan rasa laparnya, ia mengisi perutnya dengan makanan babi. Saat mengalami penderitaan, ia teringat akan bapa dan segera bangkit untuk kembali padanya.
Mendengar kemeriahan pesta, anak sulung enggan masuk ke dalam rumah karena merasa bapanya pilih kasih. Sedangkan dia, merasa sebagai anak yang baik, justru belum pernah dipestakan. Rupanya anak sulung tidak sadar kebersamaan dengan bapanya meskipun tinggal serumah.
"Ilang-ilangan endhog siji" adalah peribahasa dalam masyarakat Jawa, yang artinya ikhlas kehilangan satu anak. Sebagai wujud kepasrahan sekaligus keputusasaan orang tua terhadap kekurangajaran anaknya. Tak jarang dibawa ke ranah hukum. Putus relasi disahkan di hadapan notaris, sehingga orang tua dan anak terputus secara legal, untuk menghindari tanggung jawab orang tua atas tindakan anaknya. Hal demikian sungguh sangat bertolak belakang dengan pengajaran Yesus hari ini.
Sebagai pengikut Kristus, mari merenungkan peran kita dari para tokoh dalam perumpamaan ini. Apakah kita sebagai anak bungsu yang meninggalkan Allah Bapa dan jatuh dalam dosa, atau kita bersikap seperti anak sulung yang merasa “sudah baik” dan terperangkap dalam sikap sombong dan menghakimi orang lain? Ataukah kita berada pada posisi sang bapa, ketika keadaan menempatkan kita di pihak yang seharusnya bermurah hati untuk memberikan pengampunan, dan mengasihi tanpa syarat dengan sukacita?
Doa:
Ya Allah sumber kasih sejati, kasih-Mu kepada kami tiada berkesudahan, meskipun kami penuh dengan noda dosa. Ampunilah ya Allah segala dosa dan perbuatan kami yang tidak berkenan dihadirat-Mu. Ajarkanlah kepada kami kerendahan hati agar kami mampu untuk mengampuni sesama yang bersalah kepada kami. Amin.
(Ari Susanto)
Ambillah anak lembu yang gemuk itu, sembelihlah dan marilah kita makan dan bersukaria.
(Luk. 15:23)
Bacaan Pertama : Yos. 5:9a. 10-12
Mazmur Tanggapan : Mzm. 34:2-3. 4-5. 6-7
Bacaan Kedua : 2Kor. 5:17-21
Bacaan Injil : Luk.15:1-3. 11-32
Ketika masih jauh dari rumah, bapanya telah melihat dan berlari menyambut sebelum anak bungsu itu berkata sepatah kata pun. Martabatnya sebagai anak dipulihkan dengan dikenakan cincin dan jubah serta sepatu pada anak bungsu. Untuk melengkapi sukacitanya, bapa menyuruh mengadakan pesta dengan menyembelih anak lembu tambun, sebagai lambang kembalinya relasi anak dan bapa yang telah terputus (bdk. Im.4:3). Demikian kasih sayang seorang Bapa tiada berkesudahan, meskipun anak bungsu telah pergi dan menghabiskan harta warisan.
Anak bungsu meminta warisan selagi bapanya masih hidup. Dengan harta warisan, anak pergi ke negeri yang jauh dan hidup berfoya-foya. Tak lama kemudian harta habis dan hidup melarat. Ia bekerja di kandang babi. Untuk menghilangkan rasa laparnya, ia mengisi perutnya dengan makanan babi. Saat mengalami penderitaan, ia teringat akan bapa dan segera bangkit untuk kembali padanya.
Mendengar kemeriahan pesta, anak sulung enggan masuk ke dalam rumah karena merasa bapanya pilih kasih. Sedangkan dia, merasa sebagai anak yang baik, justru belum pernah dipestakan. Rupanya anak sulung tidak sadar kebersamaan dengan bapanya meskipun tinggal serumah.
"Ilang-ilangan endhog siji" adalah peribahasa dalam masyarakat Jawa, yang artinya ikhlas kehilangan satu anak. Sebagai wujud kepasrahan sekaligus keputusasaan orang tua terhadap kekurangajaran anaknya. Tak jarang dibawa ke ranah hukum. Putus relasi disahkan di hadapan notaris, sehingga orang tua dan anak terputus secara legal, untuk menghindari tanggung jawab orang tua atas tindakan anaknya. Hal demikian sungguh sangat bertolak belakang dengan pengajaran Yesus hari ini.
Sebagai pengikut Kristus, mari merenungkan peran kita dari para tokoh dalam perumpamaan ini. Apakah kita sebagai anak bungsu yang meninggalkan Allah Bapa dan jatuh dalam dosa, atau kita bersikap seperti anak sulung yang merasa “sudah baik” dan terperangkap dalam sikap sombong dan menghakimi orang lain? Ataukah kita berada pada posisi sang bapa, ketika keadaan menempatkan kita di pihak yang seharusnya bermurah hati untuk memberikan pengampunan, dan mengasihi tanpa syarat dengan sukacita?
Doa:
Ya Allah sumber kasih sejati, kasih-Mu kepada kami tiada berkesudahan, meskipun kami penuh dengan noda dosa. Ampunilah ya Allah segala dosa dan perbuatan kami yang tidak berkenan dihadirat-Mu. Ajarkanlah kepada kami kerendahan hati agar kami mampu untuk mengampuni sesama yang bersalah kepada kami. Amin.
Komentar
Posting Komentar