(Renungan) Mengasihi Musuh
Mengasihi Musuh?
(Hiyanto Mulia)
(Hiyanto Mulia)
Namun, Aku berkata kepadamu: kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.
(Mat. 5:44)
Kalender Liturgi Selasa, 17 Juni 2025
Bacaan Pertama : 2Kor. 8:1-9
Mazmur Tanggapan : Mzm.146:2. 5-6. 7. 8-9a
Bacaan Injil : Mat. 5:43-48
Dalam jejak langkah manusia, kerap kita temui luka di hati yang ditorehkan oleh sesama manusia. Dari luka itu, tumbuh hasrat membara untuk membalas, bara yang perlahan menyulut rantai dendam, membelit jiwa dalam lingkaran kebencian yang tak berujung, sebuah pusaran gelap yang sulit dihentikan.
Di panggung dunia hiburan, kisah balas dendam kerap menjadi primadona. Mengapa? Sebab setiap hati menyimpan kisahnya sendiri, tentang luka lama, tentang cinta yang dikhianati, tentang pengkhianatan yang mengendap diam-diam. Tapi di tengah gemuruh hasrat manusia, Yesus membisikkan ajaran yang asing bagi nurani kita: “Kasihilah musuhmu.”
Apa artinya itu? Haruskah kita menanggung perbuatan jahat tanpa membela diri? Haruskah kita menyerah tanpa perlawanan? Apakah ini berarti kita harus selalu mengalah pada tuntutan mereka? Apakah artinya kita harus melupakan luka yang mereka torehkan begitu saja? Bahkan, Yesus lebih jauh lagi, Ia menantang: berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (ay.44).
Yesus tidak hanya berkata, tetapi memberi teladan. Dalam hina dan derita, Ia tak membalas. Dalam siksaan, Ia tetap mengasihi. Dalam kematian, Ia memaafkan. Itulah kasih sejati, kasih yang menolak untuk dilumpuhkan oleh kebencian. Oleh kasih inilah kita pun dipanggil. “Haruslah kamu sempurna…” (ay.48), sempurna dalam mengasihi, bahkan kepada mereka yang melukai hati kita.
Mengasihi bukan berarti menyukai, tapi lebih dari itu, kita harus memilih untuk berbuat baik, meski hati ingin membalas. Kita boleh membenci perbuatan jahat mereka, namun kita dipanggil untuk tidak menyakiti kembali. Itulah kasih: sebuah kekuatan, bukan kelemahan.
Kasih tidak dapat ditaklukkan oleh dendam. Kasih tidak berarti tunduk pada kekerasan atau tuntutan manipulatif. Memaafkan bukan berarti pasrah. Mengasihi musuh bukan berarti menyerahkan diri pada ketidakadilan. Tanpa keberanian dan kejelasan hati, kita mudah terjebak, menyangka kita sedang mengasihi, padahal kita hanya pasrah, menyerah, mengalah dalam ketakutan.
Di jalan kasih itulah kita menemukan kedamaian, bahkan hati yang paling terluka sekalipun. Bukan karena musuh telah berubah, tetapi karena hati kita telah memilih yang benar: mengampuni, mendoakan, dan mengasihi dengan kekuatan yang datang dari-Nya yang lebih dahulu mengasihi kita.
Doa:
Ya Tuhan, tumbuhkanlah selalu kasih dalam diriku sehingga aku semakin mengenal Dikau yang adalah kasih, mengasihi-Mu lebih dari segalanya dan mengasihi sesama, siapa pun di sekitarku, seperti aku yang selalu Engkau kasihi. Tuhan, kobarkanlah selalu kasih dalam diriku. Amin.
Komentar
Posting Komentar