(Renungan) Hidup dalam Kemunafikan

Hidup dalam Kemunafikan
(Teguh Cahyadi)

Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang indah tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan segala  kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kelaliman.
(Mat. 23:27-28)

Kalender Liturgi Rabu, 27 Agustus 2025
PW. St. Monika
Bacaan Pertama: 1Tes. 2:9-13
Mazmur Tanggapan: Mzm. 139:7-8.9-10.11-12ab
Bacaan Injil: Mat. 23:27-32

Dari kejauhan, gunung tampak begitu indah. Kabut dan awan yang menyelimutinya membuatnya terlihat damai, agung, dan memesona, bagai lukisan karya Tuhan semesta alam. Namun, seperti halnya dalam hidup, tidak semua yang tampak indah di luar menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya.

Ada orang-orang yang terlihat teduh dan sejuk di luar, tampak saleh, tenang, dan damai. Namun di balik penampilan luar yang menawan itu, tersembunyi hati yang penuh kepalsuan. Inilah gambaran nyata dari kemunafikan. Yesus menggambarkan orang Farisi seperti kuburan yang dilabur putih: tampak bersih dan indah dari luar, tetapi penuh tulang belulang dan segala kotoran di dalamnya.

Sindiran keras ini juga tampak dalam Kis. 23:3, ketika Paulus menyebut imam besar sebagai "tembok yang dilabur putih". Mereka menghakimi Paulus menurut Hukum Taurat, namun pada saat yang sama, mereka sendiri melanggar hukum yang sama. Mereka seolah-olah saleh, namun kenyataannya tidak demikian. Ini adalah bentuk nyata dari kemunafikan, bagaikan pepatah “maling teriak maling.” Suatu kondisi spiritual yang sudah sangat kronis. Namun, ada satu penghiburan yang luar biasa: Allah tidak tinggal diam terhadap segala bentuk kemunafikan. Ia sendiri yang akan bertindak dan menghakimi segala kepalsuan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kemunafikan bisa muncul bahkan dalam hubungan persahabatan. Sebuah kisah nyata menggambarkan bagaimana persahabatan yang awalnya terjalin dengan indah, bisa hancur seiring waktu. Ketika salah satu pihak memiliki banyak "gula", banyak yang datang mendekat. Namun, ketika "gula" itu habis, orang-orang pun mulai menjauh. Persahabatan yang semula terlihat tulus ternyata hanya berdasarkan kepentingan. Bukan sahabat sejati, melainkan sahabat yang “ada maunya”.

Apa yang salah dari persahabatan semacam ini? Mungkinkah kehendak bebas yang Tuhan berikan telah disalahgunakan? Ataukah kepercayaan telah ditaburkan kepada orang yang tidak layak menerimanya? Hanya Tuhan yang tahu isi hati manusia.

Semoga kita semakin bijak dalam memilih sahabat sejati. Mari kita membangun relasi yang dilandasi kejujuran, kesetiaan, dan kasih yang tulus, serta selalu melibatkan Tuhan dalam setiap langkah hidup kita. Kiranya Tuhan menuntun kita menjauh dari kemunafikan dan mendekatkan kita kepada kebenaran yang memerdekakan.

Doa:
Allah Bapa di surga, Engkaulah segala sumber yang baik. Kami mohon jaga dan bimbinglah selalu dalam kami mencari sahabat sejati dalam peziarahan di muka bumi ini, agar persahabatan yang terjadi adalah bukan semata karena harta benda. Amin.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Renungan) Peziarah Pengharapan

(Renungan) Warisan Berharga bagi Manusia