(Renungan) Terlalu Sedikit untuk Cinta-Nya

Terlalu Sedikit untuk Cinta-Nya 
(Johanna Kemal)

Anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, mengurus persoalan-persoalan sendiri, dan bekerja dengan tanganmu, seperti yang telah kami pesankan kepadamu.
(1Tes. 4:11)

Kalender Liturgi Sabtu, 30 Agustus 2025
Bacaan Pertama: 1Tes. 4:9-11
Mazmur Tanggapan: Mzm. 98:1.7-8.9
Bacaan Injil: Mat. 25:14-30

Ada pepatah berkata, “Mata angin tidak bisa diatur, tetapi layar perahu bisa.” Pepatah ini menjadi pengingat bahwa kendali hidup terletak pada pilihan respons kita. Kita mungkin tidak bisa mengubah situasi, tetapi kita bisa mengubah sikap dan arah hati seperti halnya jemaat di Tesalonika.

Dalam Surat Pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Tesalonika, ia mengekspresikan sukacita yang mendalam atas iman mereka yang teguh. Jemaat ini menerima firman Allah yang disampaikan oleh Paulus, Silvanus dan Timotius bukan sebagai sekadar kata-kata manusia, melainkan sebagai kebenaran Ilahi yang hidup dan bekerja dalam diri mereka.

Di tengah tekanan dan penderitaan dari bangsa mereka sendiri yang belum mengenal Kristus, jemaat Tesalonika tetap teguh. Bangsa tersebut berusaha menggoda mereka untuk kembali pada berhala, hidup dalam kebiasaan lama yang penuh kenikmatan duniawi dan percabulan. Namun iman mereka tidak goyah. Paulus pun mengutus Timotius untuk menguatkan mereka dan memastikan bahwa ajaran Kristus tetap tertanam di hati mereka. 

Sukacita dan kemuliaan Paulus serta rekan-rekannya adalah kabar bahwa jemaat tersebut tetap setia dalam menghadapi penderitaan demi mengikuti Kristus, sebagaimana yang diajarkan.

Saya teringat seorang ibu sederhana, tetangga saya, yang tidak tampil di banyak kegiatan seperti kebanyakan orang. Ia memilih jalan yang hening: mengurus rumah tangga, hadir dalam misa pagi, mendoakan suaminya yang telah tiada dan putra tunggalnya yang kini menjadi imam. Hidupnya seolah sepi, namun penuh makna. Tuhan mengirimkan orang-orang baik di sekitarnya, dan ia tak pernah lelah mengucap syukur.

Ketika ditanya bagaimana dia bisa merelakan anak satu-satunya menjadi pastor, dia menjawab, “Apa yang saya berikan terlalu sedikit untuk membalas cinta Tuhan.” Ucapan sederhana itu menggugah. Setiap pagi ia menyapa saya dengan salam dan gambar setangkai bunga melalui WA, sebuah tanda kasih yang tak terlihat kecil di mata Tuhan. Suatu kehormatan.

Melihat keteladanannya, saya merenung: apakah saya juga mau setia menjalani persoalan hidup dengan cinta dan kepercayaan seperti itu? 

Doa:
Tuhan Yesus, berilah kami rahmat keteguhan dan kesetiaan kepada-Mu, meski menghadapi kesulitan dan badai kehidupan. Amin.



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Renungan) Peziarah Pengharapan

(Renungan) Warisan Berharga bagi Manusia