(Renungan) Empati
Empati 
(Kayus Mulia)
Kalender Liturgi Minggu, 28 September 2025
Bacaan Pertama: Ams. 6:1a.4-7
Mazmur Tanggapan: Mzm. 146:7.8-9a.9bc-10
Bacaan Kedua: 1Tim. 6:11-16
Bacaan Injil: Luk. 16:19-31
Kisah mengenai orang kaya dan Lazarus adalah kisah mengenai kasih kepada sesama. Orang kaya dikisahkan selalu berjubah ungu, jubah yang sangat mahal. Hidupnya berlimpah. Namun, ia tak peduli dengan Lazarus yang sekarat di depan pintu rumahnya dan sekedar memohon sedikit sisa makanan. Gambaran orang kaya ini hendak merujuk pada sosok imam besar yang umumnya berasal dari kaum Saduki. Orang Saduki tidak percaya akan kebangkitan orang mati. Itulah sebabnya Abraham berkata kepada orang kaya tersebut, ”Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati.” (Luk. 16:31). Jadi sungguh kontras, seorang imam besar yang seharusnya memiliki kasih dan menunjukkan peduli, ternyata tak memiliki semua itu.
Tuhan menghendaki agar kita harus saling mengasihi. Bila kita tidak mengasihi sesama, kita berada dalam maut (1Yoh. 3:14). Mengasihi sesama adalah memiliki empati terhadap penderitaan sesama atau kelompok masyarakat yang termarjinalkan dari berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, dan politik. Masyarakat yang kurang beruntung, rentan dan sering kali tidak mendapatkan hak-hak dasar adalah sesama yang membutuhkan kita. Empati atau bela rasa ini bukan soal agama melainkan adalah hal kemanusiaan (Paus Leo XIV). Orang kaya dalam kisah Injil hari ini sangat tidak perduli kepada sesamanya dan pada saat kematiannya ia menderita tak berkesudahan dalam neraka, tempat di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak akan padam (Mrk. 9: 48). Suatu penderitaan tanpa akhir.
   
Kardinal Suharyo mengatakan bahwa empati atau bela rasa itu harus ditunjukkan dengan tindakan nyata dalam masyarakat. Keuskupan Agung Jakarta, melalui prakarsa Romo Josep Susanto, menunjukkan bela rasa dengan mendirikan Rumah Teduh Suryo di Jakarta. Tempat menampung pasien anak-anak yang membutuhkan perawatan jangka panjang di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dan memberikan tempat singgah bagi orang tuanya secara cuma-cuma.
Semoga kita dapat juga berempati kepada sesama yang membutuhkan dengan tindakan nyata bagi masyarakat.
Doa:
Allah Bapa di surga, Engkau telah menunjukkan kepada kami dengan contoh orang kaya dan Lazarus, agar kami lebih perduli kepada masyarakat yang kurang beruntung dan yang terpinggirkan di sekitar kami. Berilah kami kekuatan untuk dapat ikut secara aktif membantu meringankan penderitaan masyarakat sekitar kami. Amin.
(Kayus Mulia)
“Engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang di sini ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita.” 
(Luk. 16:25)
Bacaan Pertama: Ams. 6:1a.4-7
Mazmur Tanggapan: Mzm. 146:7.8-9a.9bc-10
Bacaan Kedua: 1Tim. 6:11-16
Bacaan Injil: Luk. 16:19-31
Kisah mengenai orang kaya dan Lazarus adalah kisah mengenai kasih kepada sesama. Orang kaya dikisahkan selalu berjubah ungu, jubah yang sangat mahal. Hidupnya berlimpah. Namun, ia tak peduli dengan Lazarus yang sekarat di depan pintu rumahnya dan sekedar memohon sedikit sisa makanan. Gambaran orang kaya ini hendak merujuk pada sosok imam besar yang umumnya berasal dari kaum Saduki. Orang Saduki tidak percaya akan kebangkitan orang mati. Itulah sebabnya Abraham berkata kepada orang kaya tersebut, ”Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati.” (Luk. 16:31). Jadi sungguh kontras, seorang imam besar yang seharusnya memiliki kasih dan menunjukkan peduli, ternyata tak memiliki semua itu.
Tuhan menghendaki agar kita harus saling mengasihi. Bila kita tidak mengasihi sesama, kita berada dalam maut (1Yoh. 3:14). Mengasihi sesama adalah memiliki empati terhadap penderitaan sesama atau kelompok masyarakat yang termarjinalkan dari berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, dan politik. Masyarakat yang kurang beruntung, rentan dan sering kali tidak mendapatkan hak-hak dasar adalah sesama yang membutuhkan kita. Empati atau bela rasa ini bukan soal agama melainkan adalah hal kemanusiaan (Paus Leo XIV). Orang kaya dalam kisah Injil hari ini sangat tidak perduli kepada sesamanya dan pada saat kematiannya ia menderita tak berkesudahan dalam neraka, tempat di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak akan padam (Mrk. 9: 48). Suatu penderitaan tanpa akhir.
Kardinal Suharyo mengatakan bahwa empati atau bela rasa itu harus ditunjukkan dengan tindakan nyata dalam masyarakat. Keuskupan Agung Jakarta, melalui prakarsa Romo Josep Susanto, menunjukkan bela rasa dengan mendirikan Rumah Teduh Suryo di Jakarta. Tempat menampung pasien anak-anak yang membutuhkan perawatan jangka panjang di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dan memberikan tempat singgah bagi orang tuanya secara cuma-cuma.
Semoga kita dapat juga berempati kepada sesama yang membutuhkan dengan tindakan nyata bagi masyarakat.
Doa:
Allah Bapa di surga, Engkau telah menunjukkan kepada kami dengan contoh orang kaya dan Lazarus, agar kami lebih perduli kepada masyarakat yang kurang beruntung dan yang terpinggirkan di sekitar kami. Berilah kami kekuatan untuk dapat ikut secara aktif membantu meringankan penderitaan masyarakat sekitar kami. Amin.

 
 
 
Komentar
Posting Komentar