(Renungan) Mater Dolorosa, Sang Bunda Berduka

Mater Dolorosa, Sang Bunda Berduka
(Maria Theresia Widyastuti)

supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang. Suatu pedang juga akan menembus jiwamu sendiri.
(Luk. 2:35)

Kalender Liturgi Senin, 15 September 2025
PW. Santa Perawan Maria Berdukacita
Bacaan Pertama : Ibrani 5:7-9
Mazmur Tanggapan : Mzm 31:2-3a.3b-4.5-6.15-16.20
Bacaan Injil : Lukas 2:33-35

Belum lama ini, saya jatuh hati pada sebuah patung Maria yang ada di sebuah kapel ordo Hamba-Hamba Maria, patung dengan tujuh pedang di tubuhnya. Selama ini hanya ada satu patung yang membuat saya jatuh hati dan bergetar, patung Pieta namanya, karya Michel Angelo yang dibuat saat usianya baru 24 tahun. 

Pieta membawa saya pada devosi lama Gereja tentang Tujuh Duka Maria. Dalam devosi ini, Gereja mengajak saya merenungkan tujuh peristiwa; ketika Maria mengalami duka mendalam sebagai seorang ibu. Sejak Simeon menubuatkan bahwa hatinya akan ditembus pedang, hingga ia menerima tubuh Yesus yang wafat di pangkuannya, Maria berjalan dalam sebuah jalan salib yang tak kalah berat dari putranya.

Ketika merenungkan tujuh dukanya, saya merasa Maria mengajarkan  tentang bagaimana mencintai sekaligus merelakan. Tentang keberanian mendampingi, walau tahu akan berakhir dengan perpisahan. Tentang keteguhan hati, walau dunia di sekeliling runtuh.

Michel Angelo menangkap momen duka ke-6, saat Maria menerima tubuh Yesus dari salib. Menariknya, Maria tidak digambarkan sebagai perempuan tua yang renta, melainkan perempuan muda dan penuh ketenangan. Seakan Michel Angelo ingin menunjukkan bahwa kasih seorang ibu adalah kasih yang tak lekang oleh waktu. Kasih yang tetap murni, meski harus menanggung duka terdalam.

Dalam hidup, kita semua pernah atau akan mengalami "tujuh duka" kita sendiri. Kehilangan orang terkasih, perpisahan, kekecewaan, bahkan kematian impian. Maria hadir sebagai sosok yang mengerti, bukan hanya karena ia Bunda Yesus, tapi karena ia seorang ibu, seorang manusia yang tahu artinya berduka.

Setiap kali saya menatap Pieta, saya seakan diingatkan: duka bukan akhir dari cerita. Ada cinta yang tetap tinggal, ada harapan yang tetap bertumbuh, bahkan di tengah kematian. Maria mengajarkan bahwa kasih sejati selalu lebih besar daripada penderitaan.

Mungkin itulah mengapa Pieta begitu abadi, karena ia bukan hanya patung; melainkan undangan untuk masuk lebih dalam; ke dalam hati Maria, ke dalam kasih Allah, ke dalam pengharapan yang melampaui duka.

Doa:
Ya Tuhan, saat seni dan iman bertemu, Pieta bukan hanya karya seni luar biasa. Tapi juga doa yang dibentuk dari marmer dan Tujuh Duka Maria bukan sekadar rangkaian kisah Alkitab, tapi peta batin yang akan menuntun kita saat menghadapi kehilangan, penderitaan, dan luka pribadi. Patung ini lebih dari sekadar marmer yang dipahat dengan sempurna; melainkan seakan menyimpan napas doa yang tak pernah berhenti berdesah selama lebih dari lima abad. Mampukan kami untuk terus memiliki napas doa seperti Bunda Maria. Biarkan Roh Kudus menuntun kami untuk memenuhi undangan, untuk lebih memahami kasih luar biasa dari Allah yang melampaui segalanya. Amin.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Renungan) Peziarah Pengharapan

(Renungan) Warisan Berharga bagi Manusia