(Renungan) Pohon yang Berbuah

Pohon yang Berbuah
(Christine Meilani Kesumaputri)

Jawab orang itu: “Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah, jika tidak, tebanglah dia!”
(Luk. 13:8-9)

Kalender Liturgi Sabtu, 25 Oktober 2025
Bacaan Pertama: Yer. 19:1-5.10-20
Mazmur Tanggapan: Mzm. 24: 1-2.3-4ab.5-6
Bacaan Kedua: Rm. 8:1-11
Bacaan Injil: Luk. 13:1-9

Dalam Injil Lukas 13:1-9, Yesus berbicara tentang pohon ara yang tidak berbuah. Pemilik kebun ingin menebangnya, tetapi pengurus kebun memohon kesempatan: “Biarkanlah ia tumbuh tahun ini lagi; aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya. Mungkin tahun depan ia berbuah.” Kisah ini menyatakan Allah yang sabar menanti pertobatan kita.

Gambaran ini dapat kita lihat dalam kisah Santo Fransiskus dari Assisi, sebagaimana ditampilkan dalam film “Francis of Assisi” dan “Brother Sun, Sister Moon”. Fransiskus muda, anak seorang pedagang kaya, hidup dalam pesta pora dan ambisi. Namun, hidupnya kosong, bagaikan pohon yang tandus. Tuhan tidak “menebang” hidupnya, melainkan memberinya kesempatan. Pengalaman pahit dalam perang membuatnya sakit parah. Itulah titik balik hidupnya.

Momen yang paling menentukan adalah ketika Fransiskus menanggalkan pakaian kebangsawanannya di hadapan ayah dan uskup, sambil berkata bahwa hanya Allah yang menjadi Bapanya. Dari hidup yang sia-sia, ia berubah menjadi pohon yang berbuah kasih dan damai. Ia merawat orang kusta, membangun kembali gereja yang runtuh, serta menarik pengikut yang kelak menjadi saudara-saudara Fransiskan.

Perjalanannya tidak mudah. Ia sempat ditentang ayahnya, ditolak masyarakat, bahkan diragukan para penguasa Gereja. Namun pada akhirnya, Gereja menerima dan meneguhkan Ordo Fransiskan, yang memilih hidup miskin demi Kristus.

Film “Francis of Assisi” menekankan keberanian Fransiskus meninggalkan harta dan status. Kita pun diajak berani melepaskan hal-hal yang membuat hidup tandus: kesombongan, keserakahan, atau gaya hidup yang hanya mengejar pujian.

Film “Brother Sun, Sister Moon“ memperlihatkan sisi lembut Fransiskus yang menemukan Tuhan dalam alam dan kesahajaan. Matahari disebutnya  sebagai “saudara” dan bulan sebagai “saudari”. Kita pun dipanggil untuk bersyukur atas hal-hal yang sederhana: udara segar, keluarga, sahabat, bahkan senyum tulus dari orang kecil.

Pertobatan sejati bukan hanya meninggalkan dosa, tetapi juga menghasilkan buah nyata: kepedulian, kerendahan hati, dan pelayanan. Fransiskus melayani kaum miskin dan membawa damai. Kita pun bisa menjadi berkat di lingkungan kita.
Allah masih sabar menunggu kita. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Hari ini adalah waktu untuk berbuah.

Doa:
Bapa yang penuh kasih, terima kasih karena Engkau sabar menanti pertobatan kami. Melalui teladan Santo Fransiskus, kami Kau ajari keberanian untuk meninggalkan kesia-siaan dunia, dan hati yang lembut untuk menemukan Engkau dalam kesederhanaan hidup. Curahkanlah Roh Kudus-Mu agar hidup kami tidak tandus, melainkan menjadi pohon yang subur, membawa damai, syukur, dan sukacita. Demi Kristus, Tuhan dan pengantara kami. Amin.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Renungan) Peziarah Pengharapan

(Renungan) Warisan Berharga bagi Manusia